Belajar dari Mereka yang Bersyukur


oleh: Eko Rizqa S

Galau, kata yang sekarang sedang popular tersebut sepertinya kini sedang kualami. Wajahku murung seharian ini. Gara gara galau juga, sekarang aku lebih rajin shalat berjamaah di masjid dan lebih rajin pula tilawah. Tujuannya satu, agar rasa galau tersebut bisa hilang dan mudah mudahan diberikan solusi yang pas. Sebenarnya niat lebih rajin shalat berjamah, lebih rajin tilawah agar masalah hilang itu tidaklah tepat. Niat kita lebih rajin beribadah kita ke Tuhan haruslah didasari landasan ketakwaan, dan landasan kesadaran sebagi suatu fitrah dan kewajiban sebagai seorang makhluk kepada Rabb nya. Tapi begitulah manusia, mendekat kepada Tuhan nya jika mendapat masalah. Lalu menjauh lagi ketika masalah tersebut sudah selesai.

Kali ini, ketika hendak shalat berjamah di masjid Al Falah, dekat UNY, ku melihat sepeda jengki berisi 2 rombong milik seorang pedagang tape. Sepeda itu baru pertama kulihat, mungkin dia adalah pedagang keliling yang sedang berjaualan di sekitar sini. Sepeda tersebut diparkirkan di sebelah utara dinding masjid. Kurasa dia juga akan shalat berjemaah di masjid ini. Selesai shalat, ku berjalan menuju motorku yang terparkir di samping masjid. Kulihat pedagang tersebut akan bergegas pergi berjualan kembali. Umurnya 50 an tahun, memakai caping anyaman bambu, berbaju hem putih dan bercelana biru yang sudah mulai luntur warnanya. Sandalnya sandal jepit berwarna cerah. Dari sudut manapun kita memandang apa-apa yang dikenakannya tidak matching satu sama lain. Tapi ada yang membuatku penasaran ingin terus melihatnya. Wajahnya cerah, senyum tergulung, ada semacam aura yang terpancar saat melihat raut mukanya.

Sejurus kemudian, seorang datang hendak membeli tape yang dijualnya. Calon pembeli itu adalah jemaah sholat yang baru keluar. Terus kuperhatikan mereka, entah kenapa aku ingin melihatnya. Pedagang tadi tersenyum saat melayani pembeli. Saat pembeli tadi sudah pergi iapun masih menyunggingkan senymnya. Setelah ia memberesi barang dagangannya dan pergi akupun turut pergi. Selama perjalanan pulang aku masih memikirkan peristiwa tadi. Peristiwa tersebut sebenarnya bukanlah peristiwa yang luar biasa hanya kali ini aku ingin merenungkannya.

Kepalaku kudongakkan ke langit, aku berusaha merenungkannya. Di zaman ini, jarang ada pedagang seperti dia. Pada zaman sekarang, pada saat adzan berkumandang masih banyak pedagang yang terus meneruskan aktivitasnya. Bahkan para pedagang yuang letaknya hanya sepelemparan batu dari masjid, acuh tak acuh saat adzan berkumandang. Lebih miris lagi,saat khatib sudah naik mimbar di waktu shalat jumat, para pedagang yang ada di sekitar masjid masih tenang-tenang saja melayani pembelinya. Saat kulihat senyumnya yang merekah selesai sholat dan seusai melayani pembeli aku tersadarkan. Bukankah pedagang tersebut memiliki kehidupan yang lebih keras dari aku. Setiap hari berkeliling entah panas atau hujan untuk menjajakan dagangannya. Tapi ia masih bisa shalat berjamah di masjid, masih bisa tersenyum di tengah rasa penat yang menderanya.

Saat itu aku menjadi malu. Rasa galau yang menderaku bukanlah apa apa dibandingkan kehidupan keras yang dialami pak tua itu. Aku menajdi rajin shalat berjamah, rajin tilawah kalau sedang ada masalah. Wajahku menjdi murung gara gara masalah yang sedang kualami. Beda dengan pedagang itu, wajahnya teduh, penuh syukur dan menyejukkan walau kehidupannya keras. Yah, saat itu kusadar bahwa masalah yang dihadapi janganlah dihadapi dengan muka masam. Jangan pula tiba-tiba sok alim saat menghadapai masalah. Janganlah menjadi manusia yang tak tahu diuntung, saat masalah mendekat kita rajin beribadah, saat kesenangan datang kita lupa kepada Nya. Tuhan melaknat orang-orang opurtunis semacam itu. Konsistenlah beribadah, beramal, dan berdoa kepadaNya baik dalam keadaan susah maupun senang, baik kaya maupun fakir, baik lapang maupun sempit. Terimakasih pak pedagang tape. Terimakasih menyadarkanku.

Dalam sukar hitunglah kesyukuranmu,
Setitik derita melanda, segunung kurniaanNya
(Saujana, Lukisan Alam)

About Eko Rizqa

Alumni SMA N 1 Kebumen dan Jurusan Pendidikan Geografi UNY. Suka nulis dan jalan-jalan. Guru SM3T

Posted on 10 Januari 2012, in Pemikiran. Bookmark the permalink. 6 Komentar.

  1. nice post, ada banyak sekali “para pengingat” disekeliling kita, setelah merenung, tersadar, nah yang cukup lama adalah menggerek kesadaran itu pada perubahan kualitas amal yang lebih baik lagi kemudian membiasakannya. pada bagian ini memang perkara Hidayah dan Inayah Allah, seperti apakah ruang manusia untuk mengupayakannya?

  2. Yo, melu koment. yg bener punya Hijaz tuh sya’irnya

Tinggalkan Balasan ke siddiq Batalkan balasan

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Scripta Manent, Verba Volant

"Yang tertulis akan abadi, yang terucap akan lenyap, bersama hembusan angin"

diarydiar

bahagiakan hati dengan berbagi

U1needth's Blog

dari pendidikan untuk perbaikan (from tarbiyah for ishlah)

DWI BUDIYANTO

learning, leading, serving

catatan peradaban

meraih ridha Illahi...

Iftihatinjannah's Blog

Just another WordPress.com weblog

"MAS GURU"

Gurumu Sahabatmu

Serambi Indonesia

free share info