DOSEN BERKARAKTER SEBAGAI TUMPUAN UTAMA IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER


 

 

 

 

 

Suatu saat Khalifah Harun Al Rasyid pernah meminta Imam Malik mendatanginya. “Datanglah ke tempat kami.” katanya.“ Agar anak-anak kami dapat mendengarkan kitab al Muwattha”. Dengan tegas Imam Malik mengatakan. “Semoga Allah menjayakan Amirul Mukminin. Ilmu itu datang dari lingkungan kalian. Jika kalian memuliakannya, ia jadi mulia. Jika kalian merendahkannya ia jadi hina. Ilmu harus didatangi, bukan mendatangi. Dan ketika khalifah menyuruh kedua putranya datang ke masjid untuk belajar dengan rakyat, Imam malik mengatakan, “Tak apa, tapi dengan syarat mereka tidak boleh melangkahi bahu jamaah dan bersedia duduk di posisi mana saja yang lapang bagi mereka.”

Kisah di atas terjadi ratusan tahun lampau, namun jika direnungkan kita akan mendapat pelajaran tak terhingga. Imam Malik ingin mengingatkan kita bahwa proses belajar tidak hanya sekedar transfer ilmu tetapi juga transfer nilai. Sedari awal, beliau mengingatkan bahwa dibutuhkan motivasi belajar yang kuat dalam mencari ilmu meskipun mereka adalah termasuk golongan terpandang sekalipun. Selain perkara motivasi, beliau juga menekankan sikap positif dalam belajar. Sikap kesombongan dalam diri dihilangkan untuk mendapatkan ilmu yang didapatkan. Esensi yang ditanamkan Imam Malik sesungguhnya adalah guru/pengajar jangan hanya mentransfer ilmu saja tetapi juga mengajarkan nilai-nilai positif untuk objek yang dia ajar. Pendidikan karakter sudah diterapkan disini. Kisah di atas adalah sebuah cara untuk mengimplementasikan pendidikan karakter bagi peserta didik,

Azyumardi Azra memberikan pengertian tentang pendidikan. Pendidikan adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.

Sedang kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter, kharassein, dan kharax, yang maknanya tools for marking, to engrave, dan pointed stake. Kata ini mulai banyak digunakan  dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain.

Setiap kali kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan adalah tentang usaha-usaha manusiawi dalam mengatasi keterbatasan dirinya melalui praksis nilai yang yang dihayatinya. Usaha ini tampil dalam setiap perilaku dan keputusan yang diambilnya secara bebas. Keputusan ini pada gilirannya semakin mengukuhkan identitas dirinya sebagai manusia. Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia berkarakter, manusia-manusia yang memperjuangkan agar dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.

Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama masih tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat. Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi nation building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.

Pendidikan karakter mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya. Proses menanamkan karakter yang baik tidak hanya tugas satu komponen, tetapi semua komponen baik pemerintah, orangtua, institusi pendidikan maupun masyarakat. Karena pentingnya pendidikan karakter tersebut, maka pernah kita mendengar akan adanya mata kuliah pendidikan karakter. Penulis lebih sepakat jika bukan mata kuliah karena akan cenderung bersifat teoritik. Harus ada pengimplementasian nyata untuk menginternalisasikan pendidikan karakter ke dalam kampus.

Subjek utama dalam pendidikan di kampus adalah dosen. Merekalah yang menjadi tumpuan utama dalam menginternalisaikan pendidikan karakter di dalam kampus. Sekali lagi tugas pendidik bukan hanya menntransferkan ilmu tetapi mentransferkan nilai-nilai. Dan mentransferkan nilai-nilai tidak cukup denagn mencontohkan tetapi perlu dibuktikan denagn pelaksanaan. Menurut Achmad Satori Ismail, ”mencontohkan saja tidaklah cukup. “ Memberi contoh memang jalan yang terbaik dalam mendidik dan membentuk karakter mahasiswa, tetapi kalau tidak diseru, tidak diajak, mahasiswa tidak akan terpanggil untuk ikut melaksanakannya.

Sesuai dengan UUGD dan PP No. 19/2005 dinyatakan bahwa ruang lingkup kompetensi guru meliputi 4 hal yakni kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogik dan kompetensi sosial. Salah satu poinnya menjabarkan bahwa dosen juga menjadi teladan dan memiliki perilku yang diteladani peserta didik. Namun, kita bisa menyaksikan banyak dosen yang justru bersikap sebaliknya. Contohnya adalah terlambat masuk kelas, meskipun sepele tetapi akan membawa preseden buruk bagi dosen, jikalau ia menjelaskan bahwa terlambat adalah sifat yang buruk dan ia sendiri masih melakukannya maka segala perkataannya akan diacuhkan. Maka untuk bisa menginternalisasikan pendidikan karakter, dosen sendiri pun harus dipastikan kompetensi pribadinya sebelum diangkat menjadi dosen. Jika dosen tersebut memang kurang kompetensi pribadinya maka universitas harus meng up-grade kemampuan dosen tersebut melalui berbagai cara.

Internalisasi pendidikan karakter dalam proses pembelajaran di kampus akan sulit dilaksanakan jika silabus-silabus, RPP-RPP hanya mengajarkan aspek kognitif dan psikomotorik, tak ada materi detail yang mengarah kepada pembentukan karakter. Yang ada hanyalah form penilaian afektif siswa, hanya menilai, padahal tidak ada materi yang penenaman karakter yang rigid yang harus disampaikan dosen kepada mahasiswa. Dengan tidak dicantumkannya kewajiban mencantumkan perilku positif dalam materinya, maka tidak ada kewajiban bagi dosen meyampaikan nilai-nilai tersebut dalam kuliahnya.

Penulis sependapat dengan pendapat yang menyatakan bahwa materi-materi yang diajarkan di bangku pendidikan telah dipisahkan dengan soal-soal kehidupan nyata sehari-hari. Ia telah menjadi sejenis tempat indoktrinisasi manusia-manusia yang harus belajar sepenuhnya kepada atasan. Tak ada ruang yang cukup untuk bereksperimentasi, mengembangkan kreativitas, dan belajar menggugat kemapanan status quo yang membelenggu. Output yang didapatkan hanya satu, yaitu orang yang  cerdas. Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan jika tidak menunjukkan karakter terpuji, maka tak diragukan lagi bahwa dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk.

Sekarang kita bisa memperhatikan mahasiswa seperti kehilangan semangat untuk belajar, kehilangan kemampuan untuk menanyakan berbagai pertanyan yang nakal, menumpulkan daya kekritisan mereka. Mereka berpikiran, toh apa gunanaya berpikiran macam-macam kalau tidak akan dipedulikan apalagi diarahkan oleh dosen. Solusi yang ditawarkan adalah dengan mengalokasikan waktu dan penambahan materi pendidikan karakter sekaligus sharing dengan mahasiswa apakah nilai-nilai positif tersebut sudah mereka laksanakan. Dengan demikian bangku kuliah tidak sekedar bangku sebagai tempat menghafal tetapi sekaligus bangku penanaman karakter yang positif  bagi mahasiswa.

Dari berbagai pemikiran di atas maka dapat disimpulkan bahwa internalisasi pendidikan karakter ke dalam kampus memiliki tumpuan utama pada tenaga pendidik yang kita namakan dosen. Cara pertama adalah menciptakan dosen yang berkarakter baik agar bisa dicontoh baik pula oleh mahasiswa. Kedua, memasukkan nilai-nilai positif  dalam setiap pengajaran di dalam mata kuliah. Niscaya dengan usaha demikina, pendidikn karakter yang coba untuk diterapkan tidak sekedar slogan tetapi implementasi yang riil dilaksanakan yang akhirnya berbuah pada pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.

*Ditulis untuk lomba Esai PBSI UNY 2010 dan mendapat juara 2

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, Dwi.2009.Prophetic Learning.Yogyakarta: Pro U Media

Doni Koesoema, A. 2007. Tiga Matra Pendidikan Karakter. Dalam Majalah BASIS, Agustus-September 2007

Harefa, Andrias.2006.Menjadi Manusia Pembelajar.Jakarta:Penerbit Kompas

Harefa, Andrias.2010. Membangun Karakter. http://www.goodreads.com /story/show  /14092    diakses 9 April 2010.

Nofrianto, Sulung.2008.The Golden Teacher.Depok:Lingkar Pena Kreativa

About Eko Rizqa

Alumni SMA N 1 Kebumen dan Jurusan Pendidikan Geografi UNY. Suka nulis dan jalan-jalan. Guru SM3T

Posted on 20 Februari 2012, in opini, Pemikiran. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar

rumah matahari

"sebab tiap kata adalah rumah doa, maka semoga hanya ruh kebaikan yang menjadi penghuninya."

Scripta Manent, Verba Volant

"Yang tertulis akan abadi, yang terucap akan lenyap, bersama hembusan angin"

diarydiar

bahagiakan hati dengan berbagi

U1needth's Blog

dari pendidikan untuk perbaikan (from tarbiyah for ishlah)

DWI BUDIYANTO

learning, leading, serving

catatan peradaban

meraih ridha Illahi...

Iftihatinjannah's Blog

Just another WordPress.com weblog

"MAS GURU"

Gurumu Sahabatmu

Serambi Indonesia

free share info